Demi Puncak
Mimpi
Oleh : Venna Yuniari
SPESIAL PELATIHAN PENULISAN CERPEN BERBASIS KEARIFAN LOKAL 23 - 26 Februari 2015
HAPPY READING :D :D
jika tak bisa menaklukkan ketinggian gunung itu,
bagaimana dengan mimpiku ?
Dingin udara pegunungan membelai kulit, ini bukan musim
salju di Jepang, ini hanya angin pegunungan di pagi hari. Sebenarnya mentari
sudah menampakkan diri sejak beberapa menit yang lalu, tetapi tidak dapat
mengusir kedinginan. Masyarakat juga enggan untuk melakukan aktivitas tak
terkecuali Nina. Gadis cantik nan hiperaktif ini juga enggan
untuk sekedar melepas selimut dan turun dari ranjangnya.
“Nina
!!!!! udah siang ayo bangun!.” Seru sang Ibu
“hoammmm!
Dingin banget, tapi ibu udah mulai bernyanyi.” Gumam Nina
“Nina
bantuin Ibu di dapur, anak perempuan udah gede jangan males !.” omel sang Ibu
“
hn.” Jawab Nina singkat
Omelan seorang Ibu adalah nasehat,
meskipun begitu Nina hanya menanggapi omelan Ibunya dengan santai, apa yang
dilakukan sang Ibu sebenarnya merupakan bentuk pengungkapan rasa kasih
sayangnya terhadap Nina. Terlihat mengabaikan dan bandel tetapi, sebenarnya ia selalu menerapkan apa
yang diajarkan Ibunya.
Hening
!!!! hingga tiba – tiba sebuah teriakkan menghancurkan kedamaian Nina yang baru
berlangsung beberapa menit lalu.
“kak
Nina!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!.” sebuah suara cempreng berasal dari
depan rumah Nina, ingin sekali Nina menghadiahkan sepasang sepatu cantik ke
wajah sang pemilik suara yang telah mengancurkan
kedamaiannya.
“(ckleek)
ada apa?” Tanya Nina setelah membuka pintu
“besok
jadi ?”
“hn?”
Tanya Nina
“katanya
mau eks-pe-di-si ke gunung desa.”
“hn.”
Jawab Nina “oh ya, jam 3 pagi kita berangkat.” Tambah Nina
Nina kembali ke dalam rumah, ia
berpikir sebenarnya kapan ia membuat janji untuk mendaki Gunung Teras ? gunung
kebanggaan orang di desanya? Tetapi Nina tak ambil pusing, lagi pula mendaki
juga merupakan kegiatan yang menyenangkan jika dilakukan bersama teman,
meskipun beresiko. Kata orang gunung yang ada di desa Nina ini tidak terlalu
tinggi, jadi nina ingin membuktikan perkataan itu.
Keesokan
hari. 03.00 pagi
Langit masih gelap, bintang pun
masih bersinar terang, bahkan udara juga lebih dingin dari kemarin. Masih
sangat sunyi, mungkin orang - orang
belum ingin pergi dari dari pelayaran mimpinya. Terkecuali kelima remaja yang
dengan semangat membara telah berdiri di kaki Gunung Teras. Mereka sudah siap
untuk mendaki.
Mencoba
sampai kakinya saja seperti ini sulitnya,
Bagaimana
untuk mencoba sampai puncak?
Jika
tak ku coba sekarang, selamanya pun
TAK
AKAN PERNAH
Waktu terus berjalan, setapak demi
tapak kelima remaja yang terdiri dari Nina, Anggun,Halida, falma dan Ditra melangkahkan
kaki mendaki Gunung Teras. Suara binatang malam saling bersahutan menjadi music
yang melatar belakangi perjalanan mereka apalagi ditambah dengan keadaan gunung
yang rungkut menjadi kesan tersendiri dalam pikiran masing – masing.
(krik
krik krik krik)
(khu
khu khu khu)
(krosek
! cklek! Bugh krieet)
“huwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!”
teriak Anggun
“kenapa?”
Tanya Nina
“ada
apa ?”
Mendengar kata hantu semuanya nampak
panic, karena panic kelima remaja itu mempercepat langkah kaki menaiki gunung.
Akibatnya mereka kelelahan dan menyadari perjalanan yang mereka tempuh karena
kepanikkan telah mencapai tiga perempat dari perjalanan ini. Nina mengajak
keempat temanya untuk istirahat sejenak. Saat beristirahat Nina menanyakan perihal hantu yang
dimaksudkan oleh Anggun, dan ternyata Anggun mendengar suara aneh lalu ia
berinisiatif bahwa suara yang didengarnya adalah suara hantu.
“jadi
kamu Cuma denger suara khu khu gitu ?” Tanya Nina
“he’eh.”
Jawab Anggun
“itu
burung hantu.” Seru Nina dan ketiga temannya.
Lalu kelima remaja itu tertawa
bersama ketika menyadari apa yang baru saja terjadi, mereka rela berlari – lari
di jalanan gunung yang menanjak dengan sekuat tenaga hanya karena sebuah suara
burung hantu yang Anggun
kira sebagai hantu. Mereka masih terus tertawa hingga sebuah insiden
menghentikan tawa ceria mereka.
Tiba
– tiba…
(krieet
brugghhhh)
“
Aw!!!!!!!!!! Kakiku ! sakit! Tolong !” jerit Nina
Sebuah
ranting yang cukup besar menimpa kaki kiri Nina, keempat teman Nina tampak
sangat panic mereka berusaha untuk minyingkirkan ranting tersebut dari kaki
Nina. Setetes demi tetes buliran Kristal bening mengalir perlahan membasahi
wajah Nina, kakinya terasa sakit, mungkin tulang – tulang kaki kirinya remuk.
Nina berpikir bagaiman jika setelah ini ia tidak dapat lagi berjalan normal
? bagaimana jika sahabatnya meninggalkannya sendirian ? tentu ia sanagt takut,
bahkan sungguh takut. Nina terus menangis, melihat pemandangan yang menyedihkan
itu, Falma, Anggun dan Halida mengajak Nina untuk turun saja, tetapi Nina
menolak, ia tetap bersikeras untuk dapat sampai di puncak.
Menghentikan satu hal sama saja
Menghentikan semua mimpi
Nina
berusaha menggerakkan dirinya dengan merangkak , Nina berharap untuk segera
sampai di puncak. Hati Ditra tersentuh melihat kesungguhan Nina, Ditra tidak
mengerti mengapa Nina masih bisa seperti itu meski kini kondisinya telah
berubah. Nina tidak menyerah, meski menahan sakit di kakinya ia terus berusaha.
“ayo.”
Entah apa yang menggerakkan dirinya tiba – tiba saja
kini Ditra telah berada di samping Nina dan mengulurkan tangan pada Nina.
“ aku tidak mau turun !” kata Nina menolak bantuan
Ditra
“ siapa yang mengajakmu turun ? aku menawarkan diri
untuk membantumu sampai puncak.” Terang Ditra
“apa?” Tanya Nina tak mengerti
Ditra
langsung membantu Nina berdiri dan memapah Nina untuk sampai di puncak. Nina
dan Ditra terus berjalan naik. Lalu Anggun, Falma dan Halida sadar bahwa mereka
berada jauh tertinggal di bawah, Mereka memutuskan untuk naik kembali, tentu
saja naik ke puncak dan melihat matahari terbit dari timur di puncak gunung
bersama.
“tunggu!!! Kami ikut kalian.” Seru halida, Anggun dan
Falma serempak
“ayo.” Jawab Nina dan Ditra
Setelah
sekian lama perjalanan sulit mereka lalui, akhirnya mereka sampai di puncak .
rasa bangga tercipta di dalam diri kelimanya, mereka tidak menyangka dapat
melihat raja langit menaikki singgah sananya dari atas puncak ini. Di sini Nina
merasa sanagt bangga meskipun iya hanya mendaki sebuah gunung kecil, karena
mendaki gunung hingga sampai di puncaknya bukanlah hal mudah apalagi sempat
terjadi sebuah insiden yang menbuatnya meneteskan air mata ketakutan, tetapi
saat ini ia sadar ini telah melewati segala rintangan itu dengan ditemani
keempat
sahabatnya, mereka tidak berdiri di belakng atau di depan Nina melainkan mereka
berdiri sejajar dengan Nina.
jika
tak bisa menaklukkan ketinggian gunung itu,
bagaimana
dengan mimpiku ?
tetapi kini aku tahu apa jawabnya,
aku bisa
menaklukkan mimpiku.
Comments
Post a Comment